Kamis, 28 Februari 2013

Suara Merdeka dari Aceh




9G29 RINI DEWINI
 Jakarta - Jangan salah memahami judul di atas. Bukan, kami bukan membicarakan konflik bersenjata yang pernah terjadi di provinsi tersebut. Kami justru sedang membicarakan sebuah fakta sejarah yang pernah terjadi di Aceh. Sejarah yang kini agak terlupakan.


Inilah kisah tentang radio perjuangan yang dirintis Divisi X Komandemen Sumatera Utara, Langkat dan Tanah Karo. Radio ini kelak dikenal dalam sejarah dengan nama Radio Rimba Raya. Radio ini berjasa sebagai corong Republik untuk menangkal propaganda sesat Belanda. Termasuk, yang fenomenal, menyiarkan serangan besar selama enam jam di Yogyakarta pada 1 Maret 1949.

Radio ini didirikan untuk melakukan kontrapropaganda atas siaran radio Belanda ataupun radio lokal yang dikuasai Belanda. Pasca-agresi militer Belanda yang kedua pada 19 Desember 1948, penjajah selalu mempropagandakan bahwa RI sudah mati sehingga kedaulatan Republik belum diakui.

Tapi tentara di Divisi X tak mau diam saja. Panglima Divisi X saat itu, Kolonel Husein Yusuf, diam-diam merancang pembelian seperangkat stasiun radio dan pemancarnya dari Malaya. Dengan bantuan penyelundup kondang pada zaman itu, radio pun dibeli dengan barter hasil bumi dan emas.

Studionya dibangun di salah satu ruangan di rumah Kolonel Husein di Bireuen, kota kecil yang pernah dikunjungi Presiden Sukarno pada 1948. Mereka melakukan siaran dari sore sampai dini hari untuk menyemangati para pejuang dan menangkis berbagai propaganda Belanda.

Siaran berita dan informasinya mengudara dalam bahasa China, Inggris, Belanda, Urdu, dan Arab, selain bahasa Indonesia serta Aceh. Siarannya ditangkap sampai India, Singapura, Filipina, dan direlai ke Eropa.

Sampai suatu ketika, radio dan pemancarnya harus dipindahkan ke Kutaraja, Banda Aceh. Lalu, setelah agresi Belanda kedua, stasiun radio itu diungsikan ke belantara bernama Rimba Raya di jalan raya Bireuen-Takengon, Aceh Tengah.

"Tanpa Radio Rimba Raya, mungkin sejarah jadi lain," kata Ikmal Husin, seorang sutradara lulusan Institut Kesenian Jakarta, yang telah membuat film dokumenter tentang radio tersebut.

Mungkin menimbulkan kesan jemawa, mengingat Serangan Umum 1 Maret dalam buku-buku sejarah selalu tentang kisah para pejuang di Yogyakarta. Serta, tentu saja, nama-nama besar di balik serangan itu, seperti Letnan Kolonel Soeharto, Sultan Hamengku Buwono IX, dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Padahal, bisa jadi, tanpa Radio Rimba Raya, Serangan Umum 1 Maret 1949 hanyalah sebuah aksi sporadis di wilayah kecil yang pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia. Suara bedil, dan pengorbanan nyawa, meledak tak lebih jauh dari batas-batas Kota Yogya.

Siapa pernah mengira, dari hutan lebat itu pernah memancar suara-suara kemerdekaan Indonesia. Dari balik pepohonan pinus dan sawah yang sekarang tak terurus pernah tersiar kabar bahwa Republik Indonesia masih ada!


Sumber: DetikNews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar