9G20 LISA
KOMPAS.com - Seorang kenalan baik bernama Farhan (samaran) menceritakan pengalamannya saat masih duduk di bangku SMA. Dia diajak teman sekelasnya ke kompleks pelacuran. Farhan memang dikenal sebagai anak yang bebal dan susah diatur. Dia jarang di rumah usai sekolah, banyak gaul dengan temannya yang malas belajar. Beda dengan masa kecilnya, Farhan adalah anak yang manis. Namun Ibunya selalu sabar dalam mendidik Farhan, dan mendoakannya
Suatu hari dua temannya mengajak Farhan ke lokalisasi. Tanpa pikir panjang diapun ngikut. Dua temannya itu memang sudah biasa ke kompleks pelacuran itu. Bagi Farhan, ini pengalaman pertama.
Saat menuju lokasi pelacuran itu belum terjadi sesuatu yang aneh dalam pikirannya, kecuali ada sedikit rasa takut saja. Namun menjelang tiba lokalisasi tersebut, Farhan mulai teringat wajah ibunya. Ingatan akan wajah ibunya begitu kuat, begitu jelas tak ubahnya seperti film.
Farhan teringat bagaimana ibunya memasak, mengantarnya ke sekolah dan bercerita setiap malam. Juga terbayang saat dia dipeluk dan dipangku sang Ibu. Wajah ibunya yang tersenyum saat dia berbuat nakal di rumah. Kesabaran sang ibu, kebaikan, dan air mata Ibunya terbayang di benak Farhan. Terakhir terbayang wajah ibunya yang setiap malam berdoa untuk dirinya.
Ingatan itu begitu kuat, sampai membuat jalannya masuk ke lokasi itu mulai melambat. Selain itu mulai muncul perasaan takut melukai ibunya. Dia membayangkan, kalau sampai Ibunya tahu hal ini betapa sakit dan malunya hati sang Ibu. Farhan merasa tidak tega. Dia tidak rela ibunya akan malu dan terluka.
Karena jalan Farhan melambat temannya berteriak :”Woii Far, ayo cepatan masuk…pengecut Lo!” Temannya memang sudah masuk dalam gerbang, tapi Farhan tertahan beberapa saat di mulut gerbang. Akhirnya dia mengambil keputusan yang membuat temannya benar-benar marah.
Farhan menajwab : “Sorry teman-teman saya tidak sanggup. Kalian saja deh, aku pulang!”. Diapun segera membalikkan badan dan meninggalkan tempat itu sambil berlari kecil. Dia sama sekali tidak mempedulikan teriakan temannya.
Kuasa kasih sayang
Memang tidak ada jaminan bahwa anak yang kita didik dengan baik akan selalu mulus jalannya. Selalu ada kerikil dalam keluarga lewat hidup anak-anak.
Tapi lewat kisah di atas kita menemukan bahwa salah satu unsur utama pembentuk kesadaran moral anak adalah cinta orangtua. Dalam kondisi tertentu, kasih orang tua membantu anak menjauhi godaan atau dosa. Sebab, anak tidak mau menyakiti hati ayah atau Ibunya dengan berbuat hal yang salah atau memalukan.
Andaipun anak akhirnya salah jalan karena sesuatu hal, baik karena lingkungan atau pergaulan yang salah, cinta juga membuat mereka kembali ke jalan yang benar. Ini kita baca dari kisah “Anak yang Hilang”. Dikisahkan, tentang seorang anak bungsu memaksa ayahnya memberikan warisan, lalu pergi meninggalkan rumah. Diapun hidup berfoya-foya dengan pelacur.
Sampai suatu ketika, uangnya habis dan jatuh miskin. Anak muda ini memutuskan bekerja sebagai penjaga babi. Saat dia sakit, lapar dan kesepian di kandang tersebut, teringatlah dia akan kasih ayahnya.
Mengenang kebaikan ayahnya. Dalam hati kecilnya, ia yakin sang Ayah akan menerima dia kembali. Benar, ayahnya yang sudah lama menantikan si bungsu menyambutnya dengan cinta tanpa syarat. Bahkan membuat pesta yang meriah, karena sempat menduga anaknya sudah meninggal.
Begitulah yang akan terjadi pada anak kita andai mereka salah jalan. Kasih dan orangtua akan kembali muncul di benak mereka. Kasih itulah yang akan membantu anak kita kembali ke jalan yang benar atau bertobat. Anak boleh gagal atau salah jalan, seperti kisah si bungsu yang berfoya-foya. Tapi kasih orangtua yang bijak selalu memberi anak kesempatan kedua. Kesempatan berubah dan memperbaiki diri.
Anak dengan kasih sayang versus tanpa kasih sayang
Ada yang menarik dari aasil penelitian Universitas Harvard tentang perkembangan orang dewasa yang diteliti selama 60 tahun. Dituliskan kembali oleh Beverly Hubble Tauke dalam bukunya “Healing your Family Tree”
Mereka yang dibesarkan dengan kasih sayang dan bahagia di masa kecil umumnya terlindung dari depresi, adiksi serta gangguan mental lainnya. Kehidupan mereka lebih kaya dengan hubungan (relasi) dan sukacita. Selain itu, ditemukan mereka lima kali lebih suka melakukan olahraga yang sifatnya bersaing, bermain-main dengan teman, dan berlibur.
Mereka lebih mampu menyeimbangkan tugas dan kewajiban dengan melakukan rekreasi yang menyenangkan. Ditemukan juga mereka suka menjalin dan membangun hubungan serta mendapat sukacita dari relasi itu. Mereka yang diasuh dengan kasih sayang, selalu ada yang bisa dibagi dalam relasi. Tapi yang tanpa kasih sayang, gelasnya kecil dan bocor pula, sehingga hidupnya selalu merasa tidak cukup. Mereka yang dibesarkan dengan kasih sayang mampu menyeimbangkan waktu kerja dan rekreasi. Antara karir dan hobi. Antara bisnis dan keluarga.
Sebaliknya, mereka yang dibesarkan tanpa kasih sayang, ditemukan lima kali lebih banyak yang menderita gangguan kesehatan jiwa, termasuk depresi dan kecanduan obat-obatan. Cenderung memilih hidup menyendiri, memisahkan diri dari persahabatan. Tak sedikit mereka meninggal karena perilaku tidak sehat, termasuk karena bunuh diri.
Mereka yang kurang kasih sayang cenderung kurang mengasihi dirinya sendiri. Masih menurut penelitian itu, sebagian dari mereka lebih suka menyenangkan diri dengan hal yang justru merusak tubuh seperti alkohol, obat-obatan, workaholic, dsb. Dari beberapa literatur lain, penulis menemukan bahwa ada orang bekerja keras hanya sebagai “upaya pelarian” dari situasi tertentu. Misal, karena hubungan yang tidak harmonis dengan pasangan.
Ya, anak yang besar tanpa kasih sayang, apalagi dibedakan dan mengalami kekerasan, mudah terperosok dalam godaan. Dia tidak punya “rem” untuk mengatasinya. Anak bahkan tidak terlalu peduli dengan konsekuensi dosa yang ia lakukan itu akan merusak nama baik orangtuanya. Malah dalam beberapa kasus konseling kami, sebagian anak terus jatuh dalam adiksi narkoba karena ingin membalaskan rasa sakit hati pada ayah atau ibunya.
Perlu kita sadari bahwa kasih sayang yang kita tabur pada anak sejak dini akan menjadi modal bagi anak menolak tawaran yang tidak baik dari temannya. Cinta orangtua akan menanamkan rasa takut untuk berbuat jahat. Karena dia merasa akan melukai orang yang mencintai dia.
Sebaliknya seorang anak yang merasa tidak dicintai akan tidak peduli dampak perbuatannya yang buruk. Dia merasa tidak perlu menjaga perasaan siapapun termasuk orangtuanya. Sebab sepanjang hidupnya merasa tidak dicintai.
Penutup
Waktu kita bersama anak tidak panjang. Ada saatnya dia dewasa dan mandiri. Marilah menabur cinta kepada mereka selagi ada kesempatan. Sambil memahami dahsyatnya kuasa kasih sayang, kita mendidik mereka di jalan Tuhan. Agar kelak mereka menjadi manusia yang dewasa, tegar dan bertanggungjawab.
Suatu hari dua temannya mengajak Farhan ke lokalisasi. Tanpa pikir panjang diapun ngikut. Dua temannya itu memang sudah biasa ke kompleks pelacuran itu. Bagi Farhan, ini pengalaman pertama.
Saat menuju lokasi pelacuran itu belum terjadi sesuatu yang aneh dalam pikirannya, kecuali ada sedikit rasa takut saja. Namun menjelang tiba lokalisasi tersebut, Farhan mulai teringat wajah ibunya. Ingatan akan wajah ibunya begitu kuat, begitu jelas tak ubahnya seperti film.
Farhan teringat bagaimana ibunya memasak, mengantarnya ke sekolah dan bercerita setiap malam. Juga terbayang saat dia dipeluk dan dipangku sang Ibu. Wajah ibunya yang tersenyum saat dia berbuat nakal di rumah. Kesabaran sang ibu, kebaikan, dan air mata Ibunya terbayang di benak Farhan. Terakhir terbayang wajah ibunya yang setiap malam berdoa untuk dirinya.
Ingatan itu begitu kuat, sampai membuat jalannya masuk ke lokasi itu mulai melambat. Selain itu mulai muncul perasaan takut melukai ibunya. Dia membayangkan, kalau sampai Ibunya tahu hal ini betapa sakit dan malunya hati sang Ibu. Farhan merasa tidak tega. Dia tidak rela ibunya akan malu dan terluka.
Karena jalan Farhan melambat temannya berteriak :”Woii Far, ayo cepatan masuk…pengecut Lo!” Temannya memang sudah masuk dalam gerbang, tapi Farhan tertahan beberapa saat di mulut gerbang. Akhirnya dia mengambil keputusan yang membuat temannya benar-benar marah.
Farhan menajwab : “Sorry teman-teman saya tidak sanggup. Kalian saja deh, aku pulang!”. Diapun segera membalikkan badan dan meninggalkan tempat itu sambil berlari kecil. Dia sama sekali tidak mempedulikan teriakan temannya.
Kuasa kasih sayang
Memang tidak ada jaminan bahwa anak yang kita didik dengan baik akan selalu mulus jalannya. Selalu ada kerikil dalam keluarga lewat hidup anak-anak.
Tapi lewat kisah di atas kita menemukan bahwa salah satu unsur utama pembentuk kesadaran moral anak adalah cinta orangtua. Dalam kondisi tertentu, kasih orang tua membantu anak menjauhi godaan atau dosa. Sebab, anak tidak mau menyakiti hati ayah atau Ibunya dengan berbuat hal yang salah atau memalukan.
Andaipun anak akhirnya salah jalan karena sesuatu hal, baik karena lingkungan atau pergaulan yang salah, cinta juga membuat mereka kembali ke jalan yang benar. Ini kita baca dari kisah “Anak yang Hilang”. Dikisahkan, tentang seorang anak bungsu memaksa ayahnya memberikan warisan, lalu pergi meninggalkan rumah. Diapun hidup berfoya-foya dengan pelacur.
Sampai suatu ketika, uangnya habis dan jatuh miskin. Anak muda ini memutuskan bekerja sebagai penjaga babi. Saat dia sakit, lapar dan kesepian di kandang tersebut, teringatlah dia akan kasih ayahnya.
Mengenang kebaikan ayahnya. Dalam hati kecilnya, ia yakin sang Ayah akan menerima dia kembali. Benar, ayahnya yang sudah lama menantikan si bungsu menyambutnya dengan cinta tanpa syarat. Bahkan membuat pesta yang meriah, karena sempat menduga anaknya sudah meninggal.
Begitulah yang akan terjadi pada anak kita andai mereka salah jalan. Kasih dan orangtua akan kembali muncul di benak mereka. Kasih itulah yang akan membantu anak kita kembali ke jalan yang benar atau bertobat. Anak boleh gagal atau salah jalan, seperti kisah si bungsu yang berfoya-foya. Tapi kasih orangtua yang bijak selalu memberi anak kesempatan kedua. Kesempatan berubah dan memperbaiki diri.
Anak dengan kasih sayang versus tanpa kasih sayang
Ada yang menarik dari aasil penelitian Universitas Harvard tentang perkembangan orang dewasa yang diteliti selama 60 tahun. Dituliskan kembali oleh Beverly Hubble Tauke dalam bukunya “Healing your Family Tree”
Mereka yang dibesarkan dengan kasih sayang dan bahagia di masa kecil umumnya terlindung dari depresi, adiksi serta gangguan mental lainnya. Kehidupan mereka lebih kaya dengan hubungan (relasi) dan sukacita. Selain itu, ditemukan mereka lima kali lebih suka melakukan olahraga yang sifatnya bersaing, bermain-main dengan teman, dan berlibur.
Mereka lebih mampu menyeimbangkan tugas dan kewajiban dengan melakukan rekreasi yang menyenangkan. Ditemukan juga mereka suka menjalin dan membangun hubungan serta mendapat sukacita dari relasi itu. Mereka yang diasuh dengan kasih sayang, selalu ada yang bisa dibagi dalam relasi. Tapi yang tanpa kasih sayang, gelasnya kecil dan bocor pula, sehingga hidupnya selalu merasa tidak cukup. Mereka yang dibesarkan dengan kasih sayang mampu menyeimbangkan waktu kerja dan rekreasi. Antara karir dan hobi. Antara bisnis dan keluarga.
Sebaliknya, mereka yang dibesarkan tanpa kasih sayang, ditemukan lima kali lebih banyak yang menderita gangguan kesehatan jiwa, termasuk depresi dan kecanduan obat-obatan. Cenderung memilih hidup menyendiri, memisahkan diri dari persahabatan. Tak sedikit mereka meninggal karena perilaku tidak sehat, termasuk karena bunuh diri.
Mereka yang kurang kasih sayang cenderung kurang mengasihi dirinya sendiri. Masih menurut penelitian itu, sebagian dari mereka lebih suka menyenangkan diri dengan hal yang justru merusak tubuh seperti alkohol, obat-obatan, workaholic, dsb. Dari beberapa literatur lain, penulis menemukan bahwa ada orang bekerja keras hanya sebagai “upaya pelarian” dari situasi tertentu. Misal, karena hubungan yang tidak harmonis dengan pasangan.
Ya, anak yang besar tanpa kasih sayang, apalagi dibedakan dan mengalami kekerasan, mudah terperosok dalam godaan. Dia tidak punya “rem” untuk mengatasinya. Anak bahkan tidak terlalu peduli dengan konsekuensi dosa yang ia lakukan itu akan merusak nama baik orangtuanya. Malah dalam beberapa kasus konseling kami, sebagian anak terus jatuh dalam adiksi narkoba karena ingin membalaskan rasa sakit hati pada ayah atau ibunya.
Perlu kita sadari bahwa kasih sayang yang kita tabur pada anak sejak dini akan menjadi modal bagi anak menolak tawaran yang tidak baik dari temannya. Cinta orangtua akan menanamkan rasa takut untuk berbuat jahat. Karena dia merasa akan melukai orang yang mencintai dia.
Sebaliknya seorang anak yang merasa tidak dicintai akan tidak peduli dampak perbuatannya yang buruk. Dia merasa tidak perlu menjaga perasaan siapapun termasuk orangtuanya. Sebab sepanjang hidupnya merasa tidak dicintai.
Penutup
Waktu kita bersama anak tidak panjang. Ada saatnya dia dewasa dan mandiri. Marilah menabur cinta kepada mereka selagi ada kesempatan. Sambil memahami dahsyatnya kuasa kasih sayang, kita mendidik mereka di jalan Tuhan. Agar kelak mereka menjadi manusia yang dewasa, tegar dan bertanggungjawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar