Senin, 25 Februari 2013

Sandi Korupsi Makin Tersembunyi





9F28 ROSIDAH B

. Semakin canggih dan tersembunyinya penggunaan bahasa dan simbol-simbol agama dalam komunikasi untuk praktik korupsi menunjukkan semakin kronisnya korupsi dalam kehidupan sosial sehari-hari. Perlu gerakan kolektif untuk menghentikan regenerasi komunikasi korupsi.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, dan pengamat psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, di Jakarta, Senin (25/2/2013), sependapat, penggunaan sandi korupsi merupakan bukti para koruptor sadar korupsi seperti rutinitas harian. Sandi itu antara lain ”apel Malang” dan ”apel Washington” dalam perkara korupsi penggiringan anggaran yang melibatkan politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh. Sandi gagal dibuktikan di persidangan karena alat bukti minim.

”Ini tantangan penegak hukum agar memutakhirkan tren percakapan politik saat ini yang sudah dikemas rapi untuk melancarkan korupsi,” ujar Hamdi.

Dalam sidang perkara korupsi pengadaan laboratorium komputer dan penggandaan Al Quran yang dibiayai Kementerian Agama dengan terdakwa politisi Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar dan Dendy Putra, kata-kata sandi yang digunakan antara lain ”santri” yang merujuk pada orang suruhan Zulkarnaen, yaitu Fahd el Fouz; ”pengajian” yang merujuk kegiatan proyek yang akan dimenangi; dan ”pesantren” yang merujuk pada Kemenag.

Hamdi menambahkan, dalam dugaan korupsi yang melibatkan mantan petinggi partai, juga beredar penggunaan sandi untuk menyamarkan korupsi.

Saling mengerti

Arie memaparkan, politisi saling mengerti setiap sandi yang digunakan. Bahkan, mereka juga dengan mudah mengerti sandi yang tak biasa digunakan. Mereka sama-sama tahu ketika di depan publik harus bicara soal hal-hal baik seperti moralitas. Sandi bahkan diturunkan di lingkungan partai.

Menurut Arie, harus ada gerakan kolektif untuk menolak sistem buruk yang saat ini berjalan. ”Banyak koruptor yang dikejar dan ditangkap, tapi hanya giliran terus, ada regenerasi,” ujarnya.

Kini, korupsi menjadi bahaya karena dianggap biasa, dan dimaklumi karena dilakukan banyak pihak. ”Lebih bahaya lagi jika publik terus-menerus dikondisikan untuk menerima praktik ini sebagai hal biasa,” kata Arie.


SUMBER : kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar