9A24 Rina Ratnasari
Jakarta, Penularan HIV-AIDS di Indonesia mengalami
peningkatan, terutama di kalangan heteroseksual. Ditengarai, kalangan
ini banyak didominasi pria-pria yang sering melakukan hubungan seks
berisiko, terutama dengan pekerja seks komersial.
Sayangnya, pemahaman masyarakat mengenai HIV-AIDS juga masih kurang. Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2010 menemukan bahwa di antara seluruh penduduk Indonesia, hanya 57,5 persen yang pernah mendengar tentang HIV. Namun sebanyak 88,6 persen di antaranya hanya sebatas mendengar, tidak memiliki pemahaman yang komprehensif.
"Sekitar 9 dari 10 orang yang terinfeksi HIV tidak tahu dirinya terinfeksi. Lebih dari 80 persen orang yang terkena pada usia produktif atau usia kerja," terang Yulia Simarmata dari Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA) dalam acara temu media di Hongkong Cafe, Jakarta, Kamis (28/2/2013).
Diduga, penularan HIV di Indonesia mengalami peningkatan di kalangan heteroseksual karena pria di usia kerja yang melakukan hubungan seks berisiko dengan penjaja seks. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi pekerjaan atau perusahaan yang berisiko memicu penularan HIV-AIDS.
Hasil penyelidikan IBCA menemukan beberapa kriteria tempat kerja yang berisiko, yaitu sebagai berikut:
1. Jumlah karyawan pria lebih banyak dibanding karyawan wanita
2. Mobilitas karyawan tinggi
3. Karyawan jauh dari keluarga
4. Jumlah pekerja lajang lebih banyak dibanding yang sudah berkeluarga
5. Upahnya relatif tinggi
6. Pekerjaan dengan perjalanan jauh
7. Kemiskinan di sekitar tempat kerja tinggi
8. Nilai budaya setempat permisif
9. Lokasi perusahaan terisolir
10. Dekat dengan lokalisasi
Bagi perusahaan, keberadaan karyawan yang mengidap HIV-AIDS tentu bisa menjadi beban, terutama karena berkurangnya produktifitas dan membengkaknya biaya kesehatan yang harus dibayar. Sedangkan peraturan perundangan telah menetapkan bahwa perusahaan dilarang melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang memiliki HIV-AIDS.
"Dari segi ekonomi, data tahun 2011 menemukan bahwa jika di Indonesia dalam satu perusahaan memiliki satu ODHA (Orang yang Hidup dengan AIDS), maka kerugiannya diperkirakan sebanyak Rp 740 Miliar dalam setahun yang harus dikeluarkan untuk biaya kesehatan," terang Yulia.
Sayangnya, pemahaman masyarakat mengenai HIV-AIDS juga masih kurang. Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2010 menemukan bahwa di antara seluruh penduduk Indonesia, hanya 57,5 persen yang pernah mendengar tentang HIV. Namun sebanyak 88,6 persen di antaranya hanya sebatas mendengar, tidak memiliki pemahaman yang komprehensif.
"Sekitar 9 dari 10 orang yang terinfeksi HIV tidak tahu dirinya terinfeksi. Lebih dari 80 persen orang yang terkena pada usia produktif atau usia kerja," terang Yulia Simarmata dari Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA) dalam acara temu media di Hongkong Cafe, Jakarta, Kamis (28/2/2013).
Diduga, penularan HIV di Indonesia mengalami peningkatan di kalangan heteroseksual karena pria di usia kerja yang melakukan hubungan seks berisiko dengan penjaja seks. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi pekerjaan atau perusahaan yang berisiko memicu penularan HIV-AIDS.
Hasil penyelidikan IBCA menemukan beberapa kriteria tempat kerja yang berisiko, yaitu sebagai berikut:
1. Jumlah karyawan pria lebih banyak dibanding karyawan wanita
2. Mobilitas karyawan tinggi
3. Karyawan jauh dari keluarga
4. Jumlah pekerja lajang lebih banyak dibanding yang sudah berkeluarga
5. Upahnya relatif tinggi
6. Pekerjaan dengan perjalanan jauh
7. Kemiskinan di sekitar tempat kerja tinggi
8. Nilai budaya setempat permisif
9. Lokasi perusahaan terisolir
10. Dekat dengan lokalisasi
Bagi perusahaan, keberadaan karyawan yang mengidap HIV-AIDS tentu bisa menjadi beban, terutama karena berkurangnya produktifitas dan membengkaknya biaya kesehatan yang harus dibayar. Sedangkan peraturan perundangan telah menetapkan bahwa perusahaan dilarang melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang memiliki HIV-AIDS.
"Dari segi ekonomi, data tahun 2011 menemukan bahwa jika di Indonesia dalam satu perusahaan memiliki satu ODHA (Orang yang Hidup dengan AIDS), maka kerugiannya diperkirakan sebanyak Rp 740 Miliar dalam setahun yang harus dikeluarkan untuk biaya kesehatan," terang Yulia.
Sumber : detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar