SEBAGIAN wilayah Australia disengat gelombang panas, pekan lalu. Suhu di Sydney, ibu kota New South Wales, dilaporkan 42,5 derajat celsius. Suhu terpanas, 47,2 derajat celsius, menerjang Warburton di Northern Territory. Tentu saja, penduduk kepanasan. Maka, ribuan warga Sydney memadati pantai untuk mengurangi panas yang menyengat tubuh.
Seperti dilaporkan media massa, suhu panas itu diperburuk pula oleh angin kencang, yang mengakibatkan terjadinya kebakaran. Tak kurang dari 130 titik api muncul di Negara Bagian New South Wales, yang menghanguskan lebih dari 55.000 hektare lahan. Pemerintah Australia pun mengerahkan segala daya untuk menanggulangi dampak kebakaran dan sengatan gelombang panas itu.
Masih segar dalam ingatan, tahun lalu, badai salju menerjang beberapa negara di Eropa, yang juga mengakibatkan terganggunya aktivitas, seperti penerbangan dan perjalanan darat. Lapisan salju yang menutupi jalan amat tebal, sehingga lalu lintas di beberapa kawasan terputus. Tak sedikit kendaraan yang terjebak badai salju itu. Dilaporkan, sejumlah warga meninggal, karena kedinginan. Gelombang dingin juga melilit beberapa wilayah di China dan AS.
Masih juga segar dalam ingatan tatkala badai Sandy, yang membawa hujan lebat dan angin kencang, menerjang beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Badai tersebut menimbulkan banyak korban jiwa dan harta benda. Pemerintah Kota New York sampai harus mengerahkan banyak tenaga kerja untuk membersihkan puing-puing bangunan yang dirusak badai tersebut. Setelah itu badai besar merusak beberapa kawasan di Filipina dan ratusan penduduk tewas.
Anomali Iklim
Negara kita pun tak sepi dari bencana alam. Angin putting-beliung dan banjir menyapu banyak daerah, termasuk ibu kota negara, Jakarta. Banjir, terutama akibat tingginya curah hujan, menggenangi banyak permukiman, baik itu langganan banjir maupun yang pertama kali terkena bencana air bah.Bumi yang kita huni makin sering dilanda bencana dengan akibat yang lebih besar. Para pakar menyebutkan, sebagian besar dari bencana itu adalah dampak negatif pemanasan global atau lebih akrab di telinga dengan istilah global warming. Makin tebalnya tumpukan karbon dioksida atau emisi gas karbon di atmosfer (hasil pembakaran) dengan sendirinya meningkatkan pemanasan global yang melahirkan anomali iklim.
Upaya berbagai pihak (negara) untuk mengurangi pemanasan global terus berlanjut. Berbagai pertemuan internasional diselenggarakan untuk memerangi pemanasan global. Tapi, hasilnya belum seperti diharapkan. Buktinya, mari kita simak hasil penelitian Departemen Energi Amerika Serikat, yang dipublikasikan dua tahun lalu. Katanya, emisi gas karbon dioksida, penyebab pemanasan global, sepanjang 2010, sebesar 512 juta metrik ton. Dan, yang memprihatinkan, angka itu merupakan yang tertinggi dalam 300 tahun terakhir.
Bayangkan, jika tidak gencar dilakukan pengurangan emisi gas karbon. Bayangkan jika tidak dikurangi aktivitas pembakaran. Dan bayangkan pula, apa yang bakal terjadi bila hutan tidak dihijaukan. Angka gas karbon dioksida akan jauh lebih tinggi lagi. Berbagai upaya pengurangan penyebab pemanasan global itu tentu banyak artinya, sekalipun belum mampu menyembuhkan planet ini.
Seperti dikemukakan para pakar, dimulainya revolusi industri tempo dulu meningkatkan dampak pada pemanasan global. Untungnya, komunitas internasional cepat menyadari bahwa upaya mengurangi global warming harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Aksi seperti itu harus terus ditumbuh-kembangkan.
Maka, gelombang panas dan dingin hendaknya disikapi dengan terus melancarkan aksi mengurangi penyebab pemanasan global, yakni pembakaran. Bersahabat dengan alam menjadi kata kunci yang mesti dipegang teguh oleh berbagai pihak. Semua pihak, terutama negara-negara maju, harus berlomba-lomba untuk menurunkan emisi gas karbon dioksida. Komitmen itu yang harus dilaksanakan. ***
sumber:www.tubasmedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar