9E20 MOHAMMAD IRFAN
BANDA ACEH, KOMPAS.com -- Pasal rajam (hukuman badan bagi pelanggar, misalnya, orang berzina dilempari batu atau didera) yang tercantum dalam Rancangan Qanun (Raqan) Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, sudah dicabut oleh tim penyusun yang ditunjuk Pemerintah Aceh. Saat ini raqan tersebut sudah berada di DPRA dan masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) Aceh tahun 2013.
Demikian, antara lain, penjelasan Kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, Prof Dr Syahrizal Abbas MA saat bersilaturahmi Rabu (27/2/2013) kemarin ke kantor Harian Serambi Indonesia di Meunasah Manyang, Aceh Besar.
Dalam pertemuan sekitar satu jam itu, Kadis SI minta dukungan media, terutama Serambi, memberitakan program yang akan dijalankan oleh DSI ke depan. “Tanpa dukungan media, semua program yang dicetuskan dan sudah disusun rapi, tidak diketahui publik,” ujarnya.
Banyak hal yang diutarakan Syahrizal di depan para petinggi Harian Serambi Indonesia dalam silaturahmi itu. Menurutnya, hal menarik dan menyita perhatian publik Aceh saat ini adalah perjalanan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah. Qanun ini menyita perhatian masyarakat Aceh dan menuai kontroversi karena gubernur sebelumnya menolak untuk menandatangani qanun ini, karena berbagai pertimbangan.
Saat ini, kata Syahrizal, Gubernur dr Zaini Abdullah sudah sepakat mengajukan Raqan Jinayah dan Raqan Hukum Acara Jinayah ke legislatif. Pada intinya, Gubernur Zaini menginginkan pemberlakukan syariat Islam yang sifatnya komprehensif.
Pasal yang selama ini diperdebatkan, yakni soal hukuman rajam, menurut Syahrizal sudah dicabut atau dikeluarkan dari raqan sebelumnya oleh tim revisi raqan semasa Aceh dipimpin Tarmizi A Karim.
Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah itu kelak, menurut Syahrizal, diperlukan untuk alat beracara di pengadilan.
Pemimpin Umum Harian Serambi Indonesia, H Sjamsul Kahar menyambut baik seluruh rencana DSI untuk membumikan syariat Islam dan meningkatkan syiarnya di Aceh. Sjamsul juga menambahkan,Serambi Indonesia selalu memberitakan kegiatan penguatan syariat Islam di Aceh yang bermanfaat bagi masyarakat.
Kadis SI menjelaskan tentang keberadaan Qanun 11, 12, 13, dan 14 Tahun 2002 yang saat ini harus direvisi. Empat qanun tersebut sifatnya untuk sementara waktu saja. Saat diterapkan, ternyata muncul persoalan sehingga harus direvisi.
“Kita tidak hanya berhenti dengan tiga qanun ini saja. Kalau kita berhenti, berarti penerapan syariat Islam yang kafah di Aceh, gagal. Kita harus membicarakan bagaimana syariat Islam ke depan secara komprehensif. Roadmap atau semacam blueprint-nya harus jelas, agar syariat Islam tidak bias dan bisa berlaku menyeluruh,” kata Syahrizal.
Di sisi lain, kata Syahrizal, Aceh memerlukan panduan bersama penerapan syariat Islam yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota. “Kita tidak dapat menyalahkan kalau ada bupati dan wali kota yang membuat peraturan-peraturan tersendiri untuk lingkup lokal, jika kita tidak menyiapkan qanun induknya, sebuah pedoman bersama dalam penerapan syariat Islam yang kafah di Aceh,” ujarnya.
Syahrizal mengingingkan semua pihak duduk bersama menyiapkan grand strategy syariat Islam yang komprehensif. Butuh waktu lama memang, apalagi melibatkan banyak pihak. Hasil ini akan menjadi pijakan untuk pembangunan Aceh ke depan,” tukas Syahrizal.
Menjawab pertanyaan Serambi agar DSI perlu menggelar diskusi membahas isu terkini terkait penegakan syariat Islam, Prof Syahrizal sepakat. DSI berencana melibatkan banyak pihak dalam diskusi itu.
Tahap awal, kata Syahrizal, ia menjadikan musala As-Salam di DSI Aceh sebagai tempat pengajian rutin pada setiap hari Selasa sore membahas berbagai isu terkini terkait syariat Islam, aliran sesat, politik dan isu-isu aktual lainnya. “Ini sudah jalan dan terbuka untuk umum. Hasil-hasil pengajian rutin itu akan kita bukukan,” katanya.
Sementara itu, organisasi massa (ormas) Islam yang di dalamnya berhimpun 33 lembaga, mendirikan posko untuk mengawal proses pengesahan Raqan Hukum Acara Jinayah. Posko yang berada di depan halaman Masjid Raya Baiturrahman ini didirikan, Rabu (27/2/2013) kemarin, diawali dengan membentangkan kain putih 500 meter sebagai tempat masyarakat membubuhkan tanda tangannya.
“Tanda tangan masyarakat ini sebagai bukti dukungan rakyat Aceh agar pemerintah segera mengesahkan Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayah menjadi qanun," ujar Penasihat Posko, Teungku Yusuf al-Qardhawi, kepada Serambi.
Pihaknya akan terus mengawal Raqan Hukum Acara Jinayah sampai gubernur bersama Ketua DPRA mengesahkan qanun tersebut. Menurutnya, raqan hukum acara jinayah merupakan raqan yang harus diprioritaskan DPRA karena keberadaannya mendesak.
“Kita inginkan raqan ini menjadi raqan yang lebih utama dibahas DPRA. Kami akan terus mengawal sampai disahkan,'' kata Yusuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar