Redenominasi Rupiah, Apa Artinya Bagi Kita?
9C24 MUHAMMAD RIFQI RIZQULLAH
LOMBOKita - Rencana untuk
menyederhanakan nilai nominal rupiah kembali bergema. Bersama bank
sentral, pemerintah telah meniup peluit tanda dimulainya kampanye
program ini pada 23 Januari 2013 lalu, di Hotel Borobudur, Jakarta.
Penyederhanaan nominal alias redenominasi bukanlah isu baru. Tiga
tahun lalu, pemerintah menggulirkan gagasan serupa, tapi kemudian
melempem, setelah ditentang banyak kalangan, termasuk DPR. Namun, kali
ini, rencana redenominasi agaknya berdering lebih nyaring. Selain meniup
tanda dimulai sosialisasi, pemerintah juga akan segera mengajukan RUU
Redenominasi kepada DPR. Setelah melalui masa transisi dan sosialisasi,
diharapkan penyederhanaan nilai mata uang bisa dimulai tahun 2017
mendatang.
Persoalannya, apa arti redenominasi bagi ekonomi dan buat hidup kita sehari-hari?
Redenominasi adalah penyederhanaan nominal mata uang, tanpa mengubah
nilai tukarnya. Demi kepraktisan, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah
akan membuang tiga nol terakhir dalam uang rupiah kita. Jadi, pecahan Rp
10.000 ungu bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II yang kini beredar,
misalnya, kelak akan ditarik, dan diganti pecahan baru dengan nominal Rp
10, tapi nilainya tetap sama. Jika uang ungu bergambar Sultan Mahmud
bisa dipakai untuk membeli semangkok bakso, pecahan Rp 10 penggantinya
kelak, juga dapat membeli bakso yang sama.
Jadi jelas, seperti kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo,
redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan nilai uang. Nilainya
tidak dipotong, yang diringkas hanya cara penulisan nominalnya saja.
Singkatnya, tampilannya saja yang diubah.
Lalu kenapa tampilan itu harus diubah? Menurut Menteri Agus
Martowardojo, redenominasi perlu dilakukan karena pecahan uang rupiah
kita saat ini jumlah digitnya terlalu banyak, sehingga bisa menyebabkan
inefisiensi. Nominal uang rupiah kita saat ini, tidak praktis.
Dalam proses input dan pelaporan data, misalnya, jumlah digit yang
terlalu banyak akan merepotkan dan mengundang kesalahan. Mengetik ”Rp
10”, misalnya, tentu lebih ringkas dan lebih cepat ketimbang mengetik
”Rp 10.000”. Jika yang diketik hanya satu atau 10 data, selisihnya
mungkin tidak kentara, tapi bagaimana jika ada jutaan atau miliaran
entry data yang harus di-input?
Lebih Efisien
Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution memberi gambaran kerepotan
tersebut dalam angka-angka yang lebih jelas. Menurut Darmin, nilai
transaksi antarbank yang direkam bank sentral, setiap hari kini telah
mencapai Rp 404 triliun. Ini melonjak hampir tiga kali lipat dari tahun
2009. ”Tiga tahun naik tiga kali lipat, bagaimana lima tahun ke depan?
Itu cuma transaksi sehari, lalu berapa jumlahnya dalam setahun?
Bayangkan, betapa banyak jumlah digit 0 yang ada di pencatatan di Bank
Indonesia,” kata Darmin dalam acara sosialisasi redenominasi.
Itu sebabnya, Darmin menegaskan pentingnya penyederhanaan nilai
nominal agar transaksi, pencatatan, dan pelaporan lebih efisien. “Dengan
redenominasi, jumlah digit rupiah lebih sederhana. Penyelesaian dan
pencatatan transaksi lebih singkat dan biayanya lebih murah,” katanya.
Darmin menambahkan, redenominasi penting untuk penyederhanaan
pembukuan. Penulisan nilai barang dan jasa akan lebih ringkas dan
sederhana, begitu juga penulisan uang. Ini akan menyederhanakan sistem
akuntansi dalam sistem pembayaran.
Jumlah digit yang kebanyakan juga merumitkan penghitungan, sehingga
berpotensi menimbulkan kekeliruan, juga makan waktu. Dalam sistem
transaksi nontunai, misalnya, jumlah digit yang kepanjangan bisa
melampaui jumlah digit yang ditoleransi oleh infrastruktur sistem
pembayaran dan sistem pencatatan.
Pengamat pasar modal dan pasar uang, Budi Frensidy, punya gambaran
lebih gamblang. Angka-angka agregat ekonomi kita ditulis dalam satuan
angka yang begitu besar. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
dana pihak ketiga di perbankan, atau kapitalisasi pasar saham, misalnya,
sudah ribuan triliun. Ini angka yang besar sekali, sulit dibayangkan.
Kelak, dengan perekonomian yang terus tumbuh, angka-angka ini terus
membengkak menjadi ratusan ribu triliun atau jutaan triliun, sehingga
kian sulit dibayangkan betapa banyak deretan nol di belakang satuan ini.
Angka-angka itu juga sering kali sulit diproses oleh kalkulator
finansial yang lazimnya hanya memuat 10 digit alias hanya untuk satuan
belasan miliar saja. Nah, redenominasi akan menyederhanakan atau
meringkas deretan panjang ini.
Agar masyarakat tidak bingung, pemerintah berjanji untuk melakukan
penyederhanaan ini secara bertahap, bukan sekaligus. Jadi, pecahan Rp
10.000 tadi, misalnya, akan beredar mendampingi pecahan Rp 10 uang baru.
Secara bertahap uang ungu ditarik dan pelan-pelan, digantikan uang
baru. Proses ini akan berlangsung selama empat sampai enam tahun.
(BeritaSatu/ari)
sumber: LOMBOKITA.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar